BMKG

BMKG Jelaskan Cuaca September Secara Lengkap

BMKG Jelaskan Cuaca September Secara Lengkap
BMKG Jelaskan Cuaca September Secara Lengkap

JAKARTA - Memasuki bulan September 2025, beberapa wilayah di Indonesia masih rutin diguyur hujan, meski sebagian besar daerah sudah memasuki musim kemarau. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan apakah bulan ini termasuk musim kemarau atau hujan? Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui pengamatan per dasarian III Agustus 2025 mencatat bahwa sekitar 63 persen Zona Musim (ZOM) wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Namun, menurut prediksi BMKG, selama periode dasarian I hingga III September 2025, sejumlah wilayah tetap berpotensi diguyur hujan, meski umumnya curah hujan berada di kriteria rendah hingga menengah, yakni 0–150 mm per dasarian.

Pada pekan pertama September, hujan lebat dan angin kencang tercatat melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Selama periode 1–3 September 2025, BMKG mencatat curah hujan sangat lebat berkisar 100–150 mm per hari di beberapa daerah, antara lain Kalimantan Barat sebesar 114,0 mm per hari, Papua Barat Daya 103 mm per hari, Kalimantan Tengah 137,7 mm per hari, dan Kepulauan Riau 117,5 mm per hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa musim kemarau tidak selalu identik dengan cuaca kering, karena hujan masih dapat turun dengan intensitas tertentu.

Selain hujan, angin kencang juga dilaporkan terjadi di beberapa wilayah, termasuk Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. BMKG menjelaskan bahwa angin kencang yang melanda Indonesia, khususnya di bagian selatan, disebabkan oleh Monsun Australia yang terpantau lebih kuat dari normal dan diperkirakan masih aktif hingga pertengahan September mendatang. BMKG menegaskan, "Meski demikian, hujan dengan intensitas ringan hingga lebat juga berpotensi terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia."

Kondisi cuaca yang fluktuatif ini dipicu oleh berbagai faktor dinamika atmosfer. Secara global, Dipole Mode Index (DMI) tercatat negatif, yang dapat meningkatkan aktivitas konvektif pemicu hujan di wilayah Indonesia bagian barat. Aktivitas gelombang atmosfer, ditambah suhu permukaan laut yang hangat, turut meningkatkan pembentukan awan hujan. Selain itu, Sirkulasi Siklonik terpantau berada di Samudra Hindia barat Sumatra dan Laut China Selatan, membentuk daerah perlambatan kecepatan angin atau konvergensi, serta pertemuan angin atau konfluensi di perairan barat Lampung hingga Bengkulu. Kondisi ini dapat meningkatkan potensi hujan di dekat wilayah sirkulasi dan di daerah konvergensi maupun konfluensi tersebut.

Wilayah yang sedang mengalami musim kemarau meliputi sebagian besar Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, sebagian besar Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, sebagian Bali, NTB, NTT, sebagian besar Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, sebagian Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, sebagian kecil Papua Barat, dan Papua.

Fenomena hujan yang terjadi di musim kemarau ini dikenal sebagai kemarau basah. Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa kemarau basah adalah kondisi ketika hujan masih turun secara berkala pada musim kemarau, atau musim kemarau yang intensitas hujannya lebih tinggi dari normal, meski frekuensi hujan menurun. Guswanto menegaskan, "Kondisi ini menyambung sampai musim hujan kembali."

Menurut Guswanto, hujan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah Indian Ocean Dipole (IOD) yang berada pada level negatif (-0,6), ditambah suhu laut yang hangat sehingga suplai uap air meningkat. Oleh karena itu, hujan yang turun selama musim kemarau ini tidak dipengaruhi fenomena La Nina. Hal ini penting untuk dipahami agar masyarakat tidak salah menafsirkan hujan di musim kemarau sebagai tanda awal La Nina.

Setelah puncak musim kemarau pada Agustus, BMKG memprediksi Indonesia akan memasuki fase musim pancaroba atau peralihan pada periode September–November 2025. Selama fase ini, curah hujan cenderung tidak menentu, dengan kemungkinan hujan lebat di beberapa wilayah. Setelah fase pancaroba, musim hujan diprediksi akan berlangsung mulai Desember 2025 hingga Februari 2026.

Fenomena kemarau basah dan pancaroba berdampak langsung pada berbagai aktivitas masyarakat. Bagi petani, pola hujan ini harus diperhatikan untuk perencanaan tanam dan panen. Bagi masyarakat perkotaan, jadwal harian seperti mencuci dan menjemur pakaian maupun bepergian dengan transportasi umum atau kendaraan pribadi perlu disesuaikan dengan prakiraan cuaca. Mengabaikan informasi cuaca dapat menyebabkan pakaian tidak kering sempurna atau perjalanan terganggu karena hujan tiba-tiba.

Memahami kondisi cuaca saat ini membantu masyarakat lebih adaptif terhadap perubahan iklim lokal. BMKG menekankan pentingnya memantau prakiraan cuaca, terutama selama musim pancaroba dan kemarau basah, agar aktivitas tetap aman dan nyaman. Pemantauan cuaca secara rutin juga dapat meminimalkan risiko akibat cuaca ekstrem, seperti hujan lebat atau angin kencang yang beberapa waktu terakhir tercatat di berbagai wilayah Indonesia.

Secara keseluruhan, meski sebagian besar wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau, fenomena kemarau basah masih memungkinkan hujan turun secara sporadis. Fluktuasi cuaca ini merupakan hal normal dalam dinamika atmosfer dan interaksi global, termasuk pengaruh DMI negatif, suhu laut hangat, serta aktivitas gelombang atmosfer. Masyarakat diimbau tetap waspada, menyesuaikan aktivitas, dan rutin memantau informasi BMKG untuk mengantisipasi hujan yang dapat terjadi kapan saja selama bulan September 2025.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index