Proyek Tol

Proyek Tol Probowangi Diduga Langgar Perjanjian Lahan: Pemilik Sawah di Besuki Merasa Dirugikan

Proyek Tol Probowangi Diduga Langgar Perjanjian Lahan: Pemilik Sawah di Besuki Merasa Dirugikan
Proyek Tol Probowangi Diduga Langgar Perjanjian Lahan: Pemilik Sawah di Besuki Merasa Dirugikan

JAKARTA - Proyek pembangunan jalan tol Probolinggo-Banyuwangi (Probowangi) kembali menjadi sorotan publik setelah seorang pemilik lahan di Desa Besuki, Situbondo, mengungkapkan bahwa perjanjian sewa lahan yang telah disepakati ternyata dilanggar oleh pihak pengelola tol. Adil M.S, sosok pemilik sawah tersebut, menyatakan dirinya sangat keberatan dan merasa dirugikan akibat perpanjangan sewa lahan yang tidak kunjung direalisasikan meskipun masa kontrak telah usai.

Adil telah menyewakan lahan sawahnya sebagai jalur alternatif bagi proyek tol Probowangi. Proses penyewaan dilakukan melalui pihak ketiga, dengan nilai kontrak sewa senilai Rp 15 juta untuk jangka waktu enam bulan. Durasi kontrak dimulai dari tanggal 1 Agustus 2024 dan berakhir pada 31 Januari 2025. Namun, meski kontrak sudah berakhir, lahan Adil masih terus digunakan tanpa ada kejelasan mengenai kelanjutannya.

Dalam wawancaranya, Adil mengungkapkan kekecewaannya. "Disewa sejak 1 Agustus 2024 dan berakhir pada 31 Januari 2025. Kontrak sudah habis, lahan kami tetap dipakai," ungkap Adil dengan nada kesal. Ia telah berusaha menghubungi PT. Wijaya Karya (Wika), sebagai pihak yang bertanggung jawab atas proyek tol tersebut, untuk melakukan perpanjangan sewa lahan. Sayangnya, upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang diharapkan, karena PT. Wika menganggap tawaran harga yang diajukan Adil terlalu tinggi.

Adil menuntut harga sewa baru sebesar Rp 30 juta jika pihak PT. Wika ingin melanjutkan penggunaan lahan tersebut. "Saya memang minta harga untuk dinaikkan. Kalau mau Rp 30 juta, lanjutkan. Kalau tidak mau, ya selesai. Kalau tidak kuat bayar, ya harus bongkar," tegas Adil menambahkan.

Dari sudut pandang Adil, ia memiliki hak penuh untuk menutup akses jalan sementara, karena lahan tersebut adalah miliknya. Namun, langkah ini belum diambilnya karena ia merasa kasihan dengan warga dan pelajar yang melintasi jalan tersebut setiap hari. "Mau ditutup kasihan saya sama pengendara lain, itu jalan satu-satunya. Di sisi lain, pihak tol yang ditangani PT. Wika tidak mau memperpanjang kontrak," jelas Adil dengan nada prihatin.

Menanggapi keluhan itu, Hadar, seorang perwakilan dari bagian Humas PT. Wika, memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan bahwa perusahaan sebenarnya hanya membutuhkan tambahan waktu selama satu bulan untuk menyelesaikan pembangunan di kawasan tersebut. Namun, harga yang diminta Adil dianggap terlalu mahal. "Gimana ya, serba salah, sedang saya hanya karyawan juga. Tapi gini, pemilik lahan itu (Adil) minta lahannya disewa Rp 30 juta. Baik itu sehari maupun dua hari. Padahal, kami hanya butuh tambahan satu bulan. Dulu memang janji enam bulan selesai, tapi kan itu prediksi dan meleset," ujar Hadar.

Kasus ini telah memicu perdebatan mengenai hak dan kewajiban antara pihak pengelola proyek dan pemilik lahan. Selain itu, masalah ini juga menyoroti pentingnya perencanaan dan komunikasi yang lebih baik dalam proyek pembangunan infrastruktur agar dapat menghindari perselisihan yang merugikan pihak-pihak terkait.

Sejauh ini, solusi yang ditawarkan belum memuaskan kedua belah pihak. Adil tetap bertahan pada tuntutannya bahwa jika kontrak ingin diperpanjang, maka harga sewa harus dinaikkan menjadi Rp 30 juta. Sementara itu, PT. Wika berpendapat bahwa jumlah tersebut tidak masuk akal, mengingat mereka hanya membutuhkan tambahan satu bulan waktu.

Kendati demikian, warga setempat berharap agar masalah ini bisa segera diselesaikan demi kelancaran aktivitas sehari-hari serta tetap terjaganya hubungan baik antara masyarakat dan pihak pengelola proyek. Diharapkan, kedua belah pihak dapat duduk bersama untuk bernegosiasi dan menemukan jalan tengah yang adil dan menguntungkan.

Saat ini, proyek tol Probowangi menjadi salah satu proyek infrastruktur strategis yang diharapkan dapat meningkatkan konektivitas dan perekonomian di wilayah Jawa Timur, termasuk Situbondo. Oleh karena itu, penyelesaian konflik ini menjadi krusial demi kelancaran proyek yang lebih besar dan berdampak luas pada masyarakat.

Para pengamat proyek infrastruktur menyarankan agar kasus seperti ini menjadi pembelajaran penting bagi pengelola proyek di masa depan. Perencanaan yang matang, komunikasi lintas pemangku kepentingan, serta pengaturan kontrak yang jelas dan adil adalah kunci untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur dapat berjalan dengan lancar dan membawa manfaat maksimal bagi masyarakat.

Hingga saat ini, kelanjutan dari kasus ini masih akan terus dipantau, sembari menunggu adanya penyelesaian dan keputusan terbaik yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak. Segala bentuk perkembangan akan tetap diberitakan secara berkala kepada masyarakat sebagai bagian dari upaya transparansi dan akuntabilitas publik.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index