Fenomena KaburAjaDulu: Mengapa Dokter dan Profesional Muda Memilih Merantau ke Luar Negeri

Rabu, 19 Februari 2025 | 14:21:04 WIB
Fenomena KaburAjaDulu: Mengapa Dokter dan Profesional Muda Memilih Merantau ke Luar Negeri

JAKARTA -  Fenomena "kabur aja dulu" menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Banyak kaum muda berpendidikan memilih meninggalkan tanah air untuk tinggal dan bekerja di luar negeri. Tagar ini menggambarkan rasa frustrasi terhadap sistem yang dinilai tidak mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan individu. Beberapa, seperti wakil menteri dan pengamat ketenagakerjaan, memberikan pandangan yang berbeda tentang fenomena ini.

Kenyamanan Hidup di Negeri Orang

Putu Ayuwidia Ekaputri, seorang diaspora Indonesia yang memutuskan hidup di Swedia sejak 2019, menceritakan pengalaman dan tantangan yang dihadapinya. "Betul hidup di luar negeri juga harus berusaha, tapi mungkin usahanya sebanding dengan hasil," ujar Widia. Baginya, keuntungan seperti jam kerja fleksibel, kualitas pendidikan yang baik, dan efisiensi transportasi umum membuat Swedia menjadi pilihan yang menarik dibandingkan dengan Indonesia.

Widia mengakui bahwa keputusan untuk merantau tidaklah mudah dan sering kali bukan soal materi tetapi lebih pada mengejar kualitas hidup yang lebih baik. "Di luar negeri ada hal-hal yang nggak bisa dibeli dengan uang pas-pasan. Seperti jam kerja fleksibel, kualitas sekolah anak yang bagus dekat rumah, commute kerja yang cuma sebentar," tambahnya. Kehidupan di Swedia yang menerapkan gaya hidup 'Lagom', yaitu keseimbangan dalam segala hal, menjadi nilai tambah yang dirasakannya selama hidup di sana.

Apa Kata Pemerintah dan Pengamat?

Menanggapi fenomena ini, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer justru menyarankan agar mereka yang merasa lebih baik di luar negeri tidak kembali ke Indonesia. "Mau kabar, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi, hi-hi-hi,” ujar Immanuel. Pernyataannya menimbulkan reaksi beragam di kalangan masyarakat, terutama dari para pengamat dan tokoh akademis.

Tadjudin Nur Effendi, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa keputusan untuk merantau bukan berarti kehilangan cinta terhadap tanah air. "Ini adalah cara mereka bertahan hidup ketika ada hal negatif yang terjadi di daerah asal mereka," ungkap Tadjudin. Dia menekankan bahwa migrasi demi memperbaiki nasib adalah hak asasi manusia.

Alasan Dibalik Pilihan Pergi

Sebagaimana yang dialami Arip Hidayat, seorang diaspora lain yang kini tinggal di Australia sejak 2015, alasan utama untuk menetap di luar negeri bukanlah demi pamer atau mengejar gaji tinggi. "Anak-anak di sini juga bisa ikut apprenticeship, lamar ke perusahaan dan nanti kerja, terus disekolahkan oleh perusahaan," jelas Arip. Ia menyadari betapa berbeda dan tertinggalnya sistem ketenagakerjaan di Indonesia setelah merasakan langsung bagaimana negara lain seperti Australia menjalankan sistem pendidikan dan kerja mereka.

Menurut Tadjudin, ketidakpuasan terhadap minimnya lapangan kerja dan tingginya angka pengangguran bisa memicu peningkatan migrasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan angka pengangguran di Indonesia, dari 7,20 juta pada Februari 2024 menjadi 7,47 juta pada Agustus 2024. "Ketika warga sudah tidak bisa bertahan hidup di daerah asalnya, karena tidak ada sumber daya maupun lapangan kerja, maka mereka berhak memilih," tegas Tadjudin.

Harapan untuk Kembali

Meskipun banyak warga yang memilih "kabur aja dulu", harapan agar mereka kembali suatu saat nanti tetap ada. Tadjudin berpendapat bahwa ketika orang-orang ini sudah mapan, mereka seharusnya pulang untuk membangun negara. "Setinggi-tinggi terbang bangau, baliknya ke kubangan juga," tambah Tadjudin, mengutip pepatah Minangkabau yang berarti sejauh-jauhnya orang pergi merantau, akhirnya akan kembali ke kampung halamannya. Harapannya, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh di luar negeri dapat digunakan untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik.

Fenomena ini seolah menjadi cermin bagi pemerintah dan masyarakat untuk introspeksi, guna memperbaiki sistem yang ada agar lebih mendukung dan menarik bagi warganya sendiri. Visi Indonesia Emas 2045 bisa terancam jika tren diaspora ini terus berlanjut, sehingga langkah konkret diperlukan segera.

Terkini